Portal Hiburan – PBB Cirebon sedang menjadi sorotan publik setelah kenaikannya mencapai 1.000 persen dan memicu gelombang protes warga. Salah satu kasus yang menarik perhatian datang dari Darma Suryapranata warga Jalan Raya Siliwangi Cirebon. Ia terkejut ketika mengetahui tagihan PBB rumahnya yang pada 2023 hanya sebesar Rp 6,3 juta melonjak menjadi Rp 65 juta pada 2024. Menurut Darma kenaikan ini memberatkan karena kondisi ekonomi warga belum pulih sepenuhnya pascapandemi. Ia berharap Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 yang menjadi dasar kebijakan ini segera dibatalkan. Kenaikan yang sangat drastis tersebut tidak hanya dirasakan oleh Darma melainkan juga dialami banyak warga lainnya di Cirebon. Situasi ini membuat rasa ketidakpuasan semakin meluas dan memunculkan dorongan kuat bagi warga untuk mengajukan keberatan melalui berbagai saluran resmi.
Warga Menilai Ada Teori Konspirasi PBB Cirebon
Sebagian warga mulai menganggap kebijakan ini sebagai bagian dari Teori Konspirasi PBB Cirebon karena lonjakan tarif terasa tidak masuk akal. Paguyuban Pelangi Cirebon yang menaungi para warga terdampak telah melakukan berbagai upaya penolakan sejak Januari 2024. Aksi demonstrasi dilakukan di depan DPRD Cirebon disertai penyampaian protes ke Mahkamah Agung meskipun hasilnya ditolak. Keluhan juga telah dikirim ke Presiden Prabowo Subianto Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pemeriksa Keuangan namun respons memuaskan belum diterima. Hetta Mahendrati sebagai juru bicara paguyuban menegaskan bahwa kenaikan bervariasi mulai dari 150 persen hingga 1.000 persen bahkan ada kasus ekstrem hingga 100 ribu persen akibat kesalahan perhitungan pemerintah. Kondisi ini membuat banyak warga merasa kebijakan pajak tidak lagi mengedepankan keadilan sosial dan menuntut adanya evaluasi menyeluruh.
“Baca juga: Tak Sempat Bicara, Bupati Pati Sudewo Langsung Jadi Sasaran Lemparan Massa!”
Tuntutan Warga Terhadap Pemerintah Kota
Dalam pertemuan pada Rabu malam tanggal 13 Agustus 2025 warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon menyampaikan empat tuntutan penting. Pertama adalah pembatalan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 serta pengembalian tarif PBB seperti tahun 2023. Kedua adalah penurunan pejabat Pemkot Cirebon yang dinilai bertanggung jawab terhadap kebijakan kenaikan ini. Ketiga memberikan waktu satu bulan kepada wali kota untuk mengambil tindakan nyata dan terakhir menghimbau agar pajak tidak dijadikan sumber utama Pendapatan Asli Daerah. Warga mendorong pemerintah untuk mencari alternatif lain guna meningkatkan pendapatan daerah tanpa memberatkan masyarakat. Hetta memberikan contoh Kabupaten Pati yang berhasil membatalkan kenaikan PBB sebesar 250 persen sebagai bukti bahwa revisi kebijakan dapat dilakukan jika ada kemauan politik.
Faktor Penyebab Kenaikan PBB di Cirebon
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang memberikan keuntungan ekonomi atau status sosial bagi pemiliknya. Kenaikan tarif biasanya dipicu oleh penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak atau NJOP. Namun penyesuaian di Cirebon kali ini dianggap tidak wajar karena tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomi warga. Banyak pihak menilai bahwa kebijakan tersebut diterapkan secara terburu-buru tanpa sosialisasi yang memadai. Ketidakseimbangan antara besaran kenaikan dengan daya beli masyarakat menjadi pemicu utama protes. Apalagi terdapat indikasi adanya kesalahan administrasi yang membuat tagihan melonjak jauh di luar batas kewajaran. Pemerintah Kota Cirebon seharusnya mempertimbangkan aspek keadilan dan proporsionalitas dalam menentukan tarif PBB agar tidak menimbulkan keresahan sosial.
Komitmen Warga untuk Terus Berjuang
Warga Cirebon berkomitmen untuk terus memperjuangkan tuntutan mereka meskipun sudah beberapa kali mendapatkan penolakan. Mereka siap kembali menggelar aksi massa jika pemerintah tidak memberikan respons dalam waktu yang telah disepakati. Kesadaran kolektif ini menunjukkan bahwa warga tidak menentang pajak sebagai kewajiban negara namun menolak kebijakan yang dianggap tidak rasional. Perjuangan mereka diwarnai dengan semangat solidaritas dan dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang ikut prihatin dengan situasi tersebut. Hetta menyatakan bahwa tujuan akhir dari gerakan ini adalah menciptakan kebijakan pajak yang realistis dan adil sesuai kemampuan ekonomi warga. Dengan demikian ketegangan antara pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat berkurang apabila kebijakan tersebut direvisi demi kepentingan bersama.